Sampai kapan?
Ia bertanya untuk kesekian kali, saat menelpon saya dalam perjalanan pulang. Ia adalah satu-satunya orang yang mengerti alasan mengapa saya memilih untuk menepi. Satu-satunya orang yang tahu benar alasan mengapa saya ke Jogja beberapa minggu lalu.
Ia satu-satunya yang paham bahwa tawa yang selama ini saya perlihatkan hanya palsu. Ia tahu saya sedang tidak baik-baik saja.
Sampai kapan?
Ulangnya, ketika kemarin saya terbata menangis untuk kesekian kalinya.
Ia bilang, seharusnya saya bahagia. Seharusnya saya baik-baik saja. Seharusnya saya belajar menyederhanakan keadaan.
Sampai kapan?
Sampai ia mengucap maaf, tapi sekali lagi saya bukan manusia bijak yang disakiti berkali-kali dapat segera melupa. Saya adalah pengingat yang handal.
Sampai kapan?
Maaf, saya sudah lupa cara memberi maaf.
Ia bertanya untuk kesekian kali, saat menelpon saya dalam perjalanan pulang. Ia adalah satu-satunya orang yang mengerti alasan mengapa saya memilih untuk menepi. Satu-satunya orang yang tahu benar alasan mengapa saya ke Jogja beberapa minggu lalu.
Ia satu-satunya yang paham bahwa tawa yang selama ini saya perlihatkan hanya palsu. Ia tahu saya sedang tidak baik-baik saja.
Sampai kapan?
Ulangnya, ketika kemarin saya terbata menangis untuk kesekian kalinya.
Ia bilang, seharusnya saya bahagia. Seharusnya saya baik-baik saja. Seharusnya saya belajar menyederhanakan keadaan.
Sampai kapan?
Sampai ia mengucap maaf, tapi sekali lagi saya bukan manusia bijak yang disakiti berkali-kali dapat segera melupa. Saya adalah pengingat yang handal.
Sampai kapan?
Maaf, saya sudah lupa cara memberi maaf.
Ruang Tunggu RSKM, 23 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar